Premhouse.com JAKARTA | Sektor properti residensial di Indonesia tetap menarik di 2015 kendati
ada beberapa faktor yang menghambat pertumbuhan selama dua tahun
terakhir. Dalam kolom ini saya membahas faktor-faktor yang telah
melambatkan pertumbuhan di sektor properti Indonesia dan bagaimana pihak
berwenang (seperti bank sentral dan Otoritas Jasa Keuangan) merespon
tantangan-tantangan ini melalui peraturan baru. Terakhir, saya
menyediakan sebuah update mengenai rencana Pemerintah, yang baru saja
diumumkan, untuk mengizinkan kepemilikan asing atas apartemen mewah.
Pada tahun 2012 dan pertengahan pertama tahun 2013 sektor properti Indonesia bertumbuh cepat, maka pertumbuhan keuntungan para developer properti Indonesia melonjak tajam (dari 45 perusahaan properti yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2012, 26 perusahaan mencatat pertumbuhan laba bersih lebih dari 50%) dan, jelas, harga properti Indonesia meningkat sejalan dengan itu (pada umumnya harga properti residensial bertumbuh hampir 30% per tahun antara 2011 dan 2013). Layak untuk dipahami mengapa sektor properti ‘memanas’ di periode ini.
Pada tahun 2012 dan pertengahan pertama tahun 2013 sektor properti Indonesia bertumbuh cepat, maka pertumbuhan keuntungan para developer properti Indonesia melonjak tajam (dari 45 perusahaan properti yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2012, 26 perusahaan mencatat pertumbuhan laba bersih lebih dari 50%) dan, jelas, harga properti Indonesia meningkat sejalan dengan itu (pada umumnya harga properti residensial bertumbuh hampir 30% per tahun antara 2011 dan 2013). Layak untuk dipahami mengapa sektor properti ‘memanas’ di periode ini.
Pertama, pertumbuhan yang kuat ini
terjadi karena ekspansi perekonomian Indonesia yang subur. Meskipun
pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2012 (+6,2%) di bawah
puncak pertumbuhan pasca Krisis Finansial Asia
di 2011 (+6,5%), kebanyakan analis memprediksi bahwa pertumbuhan
ekonomi Indonesia akan kembali berakselerasi setelah 2013; pandangan
yang kemudian terbukti sangat tidak akurat. Dengan pertumbuhan PDB pada
level +6% poin (year-on-year), PDB per kapita Indonesia dan daya beli
masyarakat menguat seiring dengan itu, mengimplikasikan bahwa semakin
banyak orang Indonesia yang mampu membeli properti. Belanja konsumen
kelas menengah yang kuat membuat segmen bisnis hunian (rumah, apartemen
dan kondominium) menjadi kontributor terbesar untuk pertumbuhan properti
Indonesia, mencakup sekitar 60% dari total sektor properti.
Kedua, komposisi demografi Indonesia
mendukung pertumbuhan ekonomi, termasuk sektor properti. Indonesia
memiliki populasi yang besar (kira-kira 250 juta orang pada tahun 2015)
yang menjadi semakin makmur, direfleksikan oleh segmen kelas menengah
Indonesia yang berkembang cepat. Tiap tahun beberapa juta orang
Indonesia ditambahkan dalam segmen ini. Terlebih lagi, negara ini
memiliki populasi yang muda dengan sekitar 50% penduduk berumur di bawah
30 tahun, mengimplikasikan bahwa banyak orang Indonesia yang diprediksi
akan membeli properti pertama mereka dalam jangka waktu dekat dan
menengah.
Terlebih lagi, sejalan dengan trend
global, Indonesia telah mengalami proses urbanisai (yang cepat). Pada
saat ini, lebih dari 50% penduduk Indonesia bertempat tinggal di wilayah
perkotaan. Beberapa tahun yang lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menyatakan bahwa pada tahun 2050 dua pertiga dari penduduk Indonesia
diprediksi akan bertempat tinggal di wilayah perkotaan. Ini berarti akan
ada lebih banyak rumah, apartemen dan kondominium yang akan dibangun di
wilayah perkotaan Indonesia untuk memenuhi permintaan di masa medatang
(padahal Indonesia sekarang telah dibebani oleh backlog sebesar
13,5 juta unit dan karenanya Presiden Joko Widodo meluncurkan “Program
Satu Juta Rumah” pada bulan April 2015). Situasi ini juga
mengimplikasikan bahwa karena kurangnya ketersediaan tanah di wilayah
perkotaan, harga cenderung naik cepat, sementara para pengembang perlu
semakin berfokus pada pembangunan properti vertikal seperti apartemen
dan kondominium.
Ketiga, pasar properti Indonesia naik
tajam karena rendahnya tingkat suku bunga bank sentral. Antara Februari
2012 sampai pertengahan 2013, bank sentral Indonesia (Bank Indonesia)
mempertahankan suku bunga acuannya (BI rate) pada 5,75% , kebijakan suku
bunga terendah dalam sejarah negara dengan ekonomi terbesar di Asia
Tenggara ini. Bank-bank komersial Indonesia mengalami kenaikan pinjaman
hipotek yang signifikan. Pada Mei 2013, sekitar 46% dari total kredit
bank dialokasikan untuk pinjaman hipotek konsumen.
Pertumbuhan Kuat Tiba-Tiba Jatuh
Di pertengahan kedua tahun 2013, Bank Indonesia semakin kuatir mengenai berkembangnya gelembung properti karena perekonomian umum sedang melambat namun sektor properti naik sangat tinggi di pertengahan pertama tahun 2013 (manajemen fiskal yang berhati-hati telah menjadi karakteristik pihak berwenang Indonesia setelah Krisis Finansial Asia). Bank Indonesia (BI) mengatakan bahwa pihak BI sudah mendeteksi pembelian spekulatif dan karenanya mengimplementasikan kebijakan pengetatan moneter. Meskipun kecil kemungkinan bahwa gelembung tersebut akan meletus (karena permintaaan domestik untuk properti tetap besar dan kebanyakan pembelian dilakukan oleh pengguna akhir, sementara harga properti - meskipun telah meningkat cepat - masih tergolong rendah dibanding kota-kota lain di Asia), pembelian spekulatif memang bertumbuh. Biasanya pengembang properti di Indonesia menjual kebanyakan unit dari sebuah proyek baru (contohnya sebuah bangunan apartemen) sebelum konstruksi dimulai. Menjadi semakin umum bahwa para investor Indonesia membeli beberapa unit dan menjualnya (dengan keuntungan yang tinggi) sebelum proses konstruksi bangunan mulai. Kadang-kadang sebuah unit berpindah kepemilikan beberapa kali sebelum proses konstruksi selesai, dalam setiap kali pembelian harga menjadi semakin mahal.
Pertumbuhan Kuat Tiba-Tiba Jatuh
Di pertengahan kedua tahun 2013, Bank Indonesia semakin kuatir mengenai berkembangnya gelembung properti karena perekonomian umum sedang melambat namun sektor properti naik sangat tinggi di pertengahan pertama tahun 2013 (manajemen fiskal yang berhati-hati telah menjadi karakteristik pihak berwenang Indonesia setelah Krisis Finansial Asia). Bank Indonesia (BI) mengatakan bahwa pihak BI sudah mendeteksi pembelian spekulatif dan karenanya mengimplementasikan kebijakan pengetatan moneter. Meskipun kecil kemungkinan bahwa gelembung tersebut akan meletus (karena permintaaan domestik untuk properti tetap besar dan kebanyakan pembelian dilakukan oleh pengguna akhir, sementara harga properti - meskipun telah meningkat cepat - masih tergolong rendah dibanding kota-kota lain di Asia), pembelian spekulatif memang bertumbuh. Biasanya pengembang properti di Indonesia menjual kebanyakan unit dari sebuah proyek baru (contohnya sebuah bangunan apartemen) sebelum konstruksi dimulai. Menjadi semakin umum bahwa para investor Indonesia membeli beberapa unit dan menjualnya (dengan keuntungan yang tinggi) sebelum proses konstruksi bangunan mulai. Kadang-kadang sebuah unit berpindah kepemilikan beberapa kali sebelum proses konstruksi selesai, dalam setiap kali pembelian harga menjadi semakin mahal.
Di pertengahan kedua tahun 2013, Bank
Indonesia mengetatkan kebijakannya. BI menaikkan persyaratan uang muka
minimum dan memotong pinjaman hipotek untuk kepemilikan rumah kedua
(untuk mencegah peningkatan berlebihan dari pinjaman untuk hunian).
Bank-bank juga dilarang memberikan pinjaman untuk properti-properti yang
masih dalam proses pembangunan (untuk para pembeli hunian kedua atau
lebih). Persyaratan uang muka yang lebih tinggi (atau rasio loan-to-value
yang lebih rendah) diaplikasikan untuk properti-properti berukuran
lebih dari 70 meter persegi, dan karenanya secara spesifik ditujukan
untuk pasar menengah ke atas.
Perubahan penting lainnya termasuk
tingkat suku bunga Indonesia. Setelah sentuh titik rendah dalam sejarah
pada 5,75% dari Februari 2012, Bank Indonesia secara bertahap, namun
agresif, menaikkan BI rate antara Juni 2013 sampai November 2013 menjadi
7,50%. Rejim yang lebih ketat ini diimplementasikan dalam rangka
melawan inflasi tinggi (yang terjadi setelah Pemerintah Indonesia
menaikkan harga bahan bakar bersubsidi), untuk melawan defisit transaksi
berjalan yang lebar, dan mengatasi ketidakjelasan iklim internasional
(karena pengetatan kebijakan moneter Amerika Serikat, terjadi capital outflows besar-besaran dari Indonesia dan menyebabkan pelemahan tajam nilai tukar rupiah sejak pertengahan 2013).
Ketiga, tahun politik Indonesia
(Indonesia mengadakan pemilihan legislatif dan presiden pada tengah
2014) menyebabkan ketidakjelasan politik (dan karenanya ketidakjelasan
perekonomian juga) yang besar. Menjelang pemilihan-pemilihan ini, para
pengembang Indonesia cenderung menunda proyek-proyek baru (penundaan
proyek-proyek properti juga merupakan dampak dari menurunnya pencairan
pinjaman hipotek dan BI rate yang lebih tinggi).
Bersama-sama, faktor-faktor ini
menyebabkan penurunan pasar properti Indonesia. Contohnya, Indeks Harga
Properti Hunian dari Bank Indonesia menurun 6,3% di 2014, turun dari
tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 11,5% pada setahun sebelumnya
(terlebih lagi inflasi Indonesia naik 8,4% di 2014, karenanya melebihi
kecepatan pertumbuhan indeks harga propperti). Penurunan terbesar untuk
pertumbuhan properti dirasakan di wilayah Jakarta Bogor Depok Tangerang
& Bekasi (Jabodetabek). Ini juga merupakan akibat dari pasar
properti Jakarta (dan juga pasar-pasar lainnya di kota-kota besar di
Jawa seperti Surabaya dan Bandung) telah menjadi agak jenuh karena
pembangunan properti besar-besaran di tahun-tahun sebelumnya.
Pulau-pulau lain, seperti Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan, kini
dipandang sebagai pasar berpotensi besar untuk pembangunan properti
(perkotaan) karena saat ini masih belum banyak dikembangkan.
Sebuah survei dari Bank Indonesia
menunjukkan bahwa penjualan properti hunian di kuartal 1 tahun 2015
mengalami penurunan signifikan dalam perbandingan quarter-to-quarter
(q/q). Hasil dari penjualan di kuartal pertama tahun 2015 mencatat
pertumbuhan 26,6% dibandingkan dengan 40,1% di kuartal ke-4 tahun 2014.
Sementara itu, tingkat pencairan pijaman hipotek di bank-bank untuk
rumah dan apartemen di kuartal 1 tahun 2015 naik hanya 0,12% (q/q)
dibandingkan kuartal sebelumnya.
Mencoba Mendongkrak Sektor Properti
Pertumbuhan perekonomian Indonesia melambat sampai level terendah selama enam tahun terakhir di kuartal 1 tahun 2015 dan karenanya pihak-pihak berwenang bertekad untuk mengimplementasikan tindakan-tindakan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Karena bank sentral tidak punya ruang untuk memotong BI rate (karena inflasi tinggi, defisit transaksi berjalan yang lebar dan tekanan-tekanan eksternal yang berat), BI memutuskan untuk menaikkan rasio LTV untuk pinjaman hipotek rumah mulai dari Juni 2015, karenanya mengurangi kewajiban uang muka minimum untuk para pembeli rumah pertama. Rasio LTV maksimum untuk pembelian rumah pertama dinaikkan menjadi 80% (dari sebelumnya 70%), sementara untuk pembelian rumah kedua rasio LTV dinaikkan menjadi 70% ( dari sebelumnya 60%). Terakhir, untuk rumah ketiga rasio barunya adalah 60% (dari sebelumnya 50%). Ini berlaku untuk properti-properti yang luasnya di atas 70 meter persegi yang dibeli menggunakan pembiayaan konvensional.
Para pemain properti Indonesia sangat
menyambut baik rasio LTV yang baru karena ini mungkin akan membangkitkan
sektor properti Indonesia. Meskipun begitu, akan dibutuhkan lebih
banyak waktu untuk merasakan dampak dari persyaratan uang muka yang
lebih rendah. Terlebih lagi, karena berlanjutnya perlambatan pertumbuhan
ekonomi para konsumen Indonesia menjadi lebih berhati-hati dalam
membiayai pengeluaran.
Kedua, Pemerintah Indonesia mengumumkan
bahwa orang-orang asing akan diizinkan untuk memiliki
apartemen-apartemen mewah dengan nilai minimum Rp 5 miliar, yang berarti
Pemerintah perlu merevisi Peraturan Pemerintah No. 41/1996 tentang
Perumahan untuk Warganegara Asing yang Tinggal di Indonesia yang
sekarang masih melarang warganegara asing memiliki properti jenis apapun
di Indonesia. Pada saat ini, orang-orang asing hanya bisa menggunakan
properti melalui pemakaian ‘hak guna’ (bukan ‘hak milik’) untuk periode
maksimum 25 tahun (namun dapat diperbaharui untuk tambahan waktu 20
tahun). Diprediksi bahwa orang-orang asing akan tetap hanya memiliki
‘hak guna’ setelah revisi ini namun dengan durasi tak dibatasi dan juga
hak untuk dapat mewariskannya pada para pewaris dari warganegara asing
tersebut.
Walaupun pada saat ini relatif sedikit
pengembang yang berfokus pada pembangunan apartemen-apartemen mewah,
beberapa analis mengklaim bahwa tindakan ini dapat mendongkrak sektor
properti domestik sebanyak 20%. Apabila ini terjadi, maka ini juga akan
mengimplikasikan efek multiplier untuk perekonomian karena
industri-industri lain yang berhubungan erat dengan properti - seperti
semen, keramik dan juga tenaga kerja konstruksi - akan bertumbuh sejalan
dengan itu.
Proyeksi Masa Depan Sektor Properti Hunian Indonesia
Proyeksi Masa Depan Sektor Properti Hunian Indonesia
Suku bunga diprediksi akan tetap tinggi untuk jangka waktu menengah dan rebound cepat dari pertumbuhan PDB Indonesia kemungkinan besar tidak akan terjadi, namun untuk jangka waktu menengah dan panjang sektor properti Indonesia tetap menjanjikan. Salah satu sebabnya adalah karena harga properti Indonesia masih termasuk yang termurah di wilayah Asia Tenggara. Terlebih lagi, permintaan tinggi untuk properti akan tetap terjadi karena populasi Indonesia besar dan muda (berarti masih banyak pembeli rumah pertama di masa mendatang), sementara urbanisasi dan standar hidup yang lebih tinggi berkontribusi untuk permintaan properti. Meskipun begitu fokus telah (dan akan) beralih ke wilayah-wilayah lain selain area Jabodetabek, Surabaya dan Bandung.
Kolom ini ditulis oleh R.M.A. van der
Schaar, Managing Director Indonesia Investments. Untuk pertanyaan atau
informasi lebih lanjut dia bisa dihubungi lewat link ini